Senin, 04 November 2013

Gambar tante girang seksi horny nafsu sob

Kali ini admin posting Gambar tante girang seksi horny nafsu sob   selamat menikmati aja 







Toop Banget kan Gambar tante girang seksi horny nafsu sob 

Ni admin tambah cerita sex aja ya sob... 


Dokter Sandra


San… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku 
mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat.
“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Cie… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar 
tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup.

Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit 
Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam begini jadi 
pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi 
atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yang 
perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak 
perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Sandra sendiri harus aku akui dia cukup 
terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku, 
tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih 
dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang seakan 
memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai yaitu ketus dan 
judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang sering ditunjukkan, 
ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang dia masih single. Cuma 
dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya hubungan khusus dengan dr. 
Anton tapi aku juga tidak pasti.

Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh 
suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.

Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup 
terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat 
kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih 
jelas ketika dr. Sandra menyongsongku, “Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya 
masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi 
(dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang 
diberikan olehnya.

“San, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang 
diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu, sebuah 
cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi langkahku 
sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.

Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan 
yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan 
kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.
“Siapa nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk 
memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.

“Begini Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk 
mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena yang 
tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi pembuluh 
darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan sambungkan, itu 
hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 - 4 hari setelah itu jari ini akan 
membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga, jadi dikerjakan 2 
kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil 
akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang 
jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya 
rapih dan tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.

Kira - kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan 
tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr. Sandra 
untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan medik dan 
pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh 
suster-suster dinas di UGD.

“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak.

Entah kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas 
sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar terutama 
dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung 
Sandra mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali 
dia menyeka keringatku. Huh… aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku, 
soalnya wajahku dan wajahnya begitu dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi 
tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke 
atas sehingga tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang 
ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.

Setengah jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka 
yang kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit 
terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar 
jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan dari tadi ingin pipis. 
Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di 
ujung lorong sana juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD 
ini, lagi pula rasanya lebih bersih.

Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan 
kecil halus dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian 
atasnya dengan kaos yang dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu 
buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik 
pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.

Ketika aku sampai di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk dan… ya ampun…. 
pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya, “San, 
pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah muda segera 
menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk 
mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan 
menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang 
lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan 
tubuhnya dan terasa agak lembab. Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk 
menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.

Perlahan kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus, 
halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan 
punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu 
dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama dan disusul 
dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan 
gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke 
siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang 
secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari 
belakang pundaknya itu.

Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang 
dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah 
dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan 
ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas 
oleh karena semakin berat aku menahannya.

Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada dan 
perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di 
senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya. 
Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban 
tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke 
pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung 
liang telinganya.

Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai 
terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke 
bibirnya dan segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku 
memasuki mulut dan mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan 
lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri 
lekuk wajahnya, leher dan terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan 
kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh 
kali putaran dan putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan 
ke dagunya. Sandra memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan 
lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang 
kiri yang masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya 
masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan bukit. 
Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.

Kujilat tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan 
yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan 
malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas, 
“Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga 
mulai aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil 
terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru 
turun ke bawah melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana 
panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana 
dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit 
lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak kembali naik 
menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area pinggulnya dan segera 
kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya 
bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan pinggulnya.

Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan 
dan kiri dan, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya 
Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan 
kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka. 
Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun. Mudah, oleh karena 
Sandra memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang dilakukannya sangat 
membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, tentu dia 
merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya, 
kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha 
bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan 
secara tak terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan 
tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu.

Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu ia 
mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik 
retsleting celanaku dan menariknya lepas. Langsung saja aku berdiri dan 
melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia rebah kembali dan 
kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan 
mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia memakai 
celana berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung 
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda 
basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip 
keluar dari balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya 
dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami 
sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku. 
Sementara Sandra sudah mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih tertutup 
rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang 
kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna 
pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah 
dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan.

Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh 
karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar 
dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu 
kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… 
ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk 
membersihkannya namun banjir itu datang tak tertahankan. Aku kembali naik dan 
menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku 
sudah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal 
itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.

“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan 
ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan 
torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas 
oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun 
yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Sandra tiba-tiba memegang erat 
kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan 
bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai 
memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh 
batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Sandra pun sudah 
melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, 
pintanya ketika aku ingin bergerak.

Beberapa saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra 
pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal, 
sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai 
tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan 
mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Sandra pun mulai dapat 
mengimbanginya.

Makin lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan 
di dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. “Yach… 
ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan liang 
senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin 
liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei, sementara 
keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang kunikmati saat ini adalah 
kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama 
ini melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Sandra 
kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan dengan 
pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…” 
jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di 
sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar 
biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan 
memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam 
tiada berujung. Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih 
kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku.

Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan 
kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar 
beban tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku menindih tubuhnya. 
Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat 
mengkilap licin karena keringat kami berdua.

“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya 
perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung 
hidungnya.
“Aku… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam sejenak. 
“Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Sandra mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” 
tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku 
di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San, thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap 
kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan batang 
kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar