Senin, 04 November 2013

Gambar tante girang seksi horny nafsu sob

Kali ini admin posting Gambar tante girang seksi horny nafsu sob   selamat menikmati aja 







Toop Banget kan Gambar tante girang seksi horny nafsu sob 

Ni admin tambah cerita sex aja ya sob... 


Dokter Sandra


San… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku 
mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat.
“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Cie… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar 
tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup.

Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit 
Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam begini jadi 
pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi 
atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yang 
perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak 
perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Sandra sendiri harus aku akui dia cukup 
terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku, 
tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih 
dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang seakan 
memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai yaitu ketus dan 
judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang sering ditunjukkan, 
ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang dia masih single. Cuma 
dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya hubungan khusus dengan dr. 
Anton tapi aku juga tidak pasti.

Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh 
suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.

Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup 
terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat 
kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih 
jelas ketika dr. Sandra menyongsongku, “Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya 
masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi 
(dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang 
diberikan olehnya.

“San, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang 
diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu, sebuah 
cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi langkahku 
sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.

Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan 
yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan 
kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.
“Siapa nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk 
memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.

“Begini Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk 
mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena yang 
tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi pembuluh 
darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan sambungkan, itu 
hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 - 4 hari setelah itu jari ini akan 
membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga, jadi dikerjakan 2 
kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil 
akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang 
jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya 
rapih dan tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.

Kira - kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan 
tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr. Sandra 
untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan medik dan 
pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh 
suster-suster dinas di UGD.

“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak.

Entah kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas 
sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar terutama 
dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung 
Sandra mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali 
dia menyeka keringatku. Huh… aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku, 
soalnya wajahku dan wajahnya begitu dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi 
tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke 
atas sehingga tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang 
ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.

Setengah jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka 
yang kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit 
terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar 
jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan dari tadi ingin pipis. 
Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di 
ujung lorong sana juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD 
ini, lagi pula rasanya lebih bersih.

Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan 
kecil halus dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian 
atasnya dengan kaos yang dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu 
buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik 
pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.

Ketika aku sampai di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk dan… ya ampun…. 
pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya, “San, 
pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah muda segera 
menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk 
mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan 
menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang 
lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan 
tubuhnya dan terasa agak lembab. Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk 
menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.

Perlahan kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus, 
halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan 
punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu 
dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama dan disusul 
dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan 
gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke 
siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang 
secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari 
belakang pundaknya itu.

Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang 
dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah 
dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan 
ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas 
oleh karena semakin berat aku menahannya.

Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada dan 
perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di 
senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya. 
Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban 
tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke 
pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung 
liang telinganya.

Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai 
terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke 
bibirnya dan segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku 
memasuki mulut dan mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan 
lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri 
lekuk wajahnya, leher dan terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan 
kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh 
kali putaran dan putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan 
ke dagunya. Sandra memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan 
lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang 
kiri yang masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya 
masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan bukit. 
Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.

Kujilat tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan 
yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan 
malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas, 
“Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga 
mulai aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil 
terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru 
turun ke bawah melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana 
panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana 
dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit 
lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak kembali naik 
menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area pinggulnya dan segera 
kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya 
bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan pinggulnya.

Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan 
dan kiri dan, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya 
Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan 
kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka. 
Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun. Mudah, oleh karena 
Sandra memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang dilakukannya sangat 
membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, tentu dia 
merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya, 
kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha 
bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan 
secara tak terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan 
tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu.

Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu ia 
mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik 
retsleting celanaku dan menariknya lepas. Langsung saja aku berdiri dan 
melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia rebah kembali dan 
kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan 
mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia memakai 
celana berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung 
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda 
basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip 
keluar dari balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya 
dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami 
sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku. 
Sementara Sandra sudah mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih tertutup 
rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang 
kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna 
pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah 
dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan.

Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh 
karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar 
dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu 
kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… 
ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk 
membersihkannya namun banjir itu datang tak tertahankan. Aku kembali naik dan 
menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku 
sudah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal 
itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.

“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan 
ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan 
torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas 
oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun 
yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Sandra tiba-tiba memegang erat 
kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan 
bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai 
memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh 
batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Sandra pun sudah 
melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, 
pintanya ketika aku ingin bergerak.

Beberapa saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra 
pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal, 
sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai 
tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan 
mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Sandra pun mulai dapat 
mengimbanginya.

Makin lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan 
di dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. “Yach… 
ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan liang 
senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin 
liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei, sementara 
keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang kunikmati saat ini adalah 
kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama 
ini melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Sandra 
kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan dengan 
pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…” 
jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di 
sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar 
biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan 
memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam 
tiada berujung. Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih 
kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku.

Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan 
kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar 
beban tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku menindih tubuhnya. 
Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat 
mengkilap licin karena keringat kami berdua.

“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya 
perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung 
hidungnya.
“Aku… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam sejenak. 
“Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Sandra mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” 
tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku 
di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San, thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap 
kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan batang 
kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.








Gambar Tante Girang Mulus

admin posting gambar tante girang mulus sob.. semoga gambar tante girang nya dapat mengugah otong ya... hehehe... 




mantep ga sob gambar tante girangnya... ni admin tambah lagi ... 





Gimana Sob Puas to...  gambar tante mulusnya  
admin tambahi cerita sex aja ya 



Gairah Siswi Magang


Dulu aku sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di 
bidang automotive di daerah Bekasi. Ditempat itu, sebut saja PT. BT, jumlah 
karyawannya cukup banyak. Tapi bukan itu yang menyebabkan aku menurunkan tulisan 
ini. Selain karyawan, disana terdapat beberapa siswi yang sedang melakukan PKL. 
Diantara siswi tersebut, salah satu diantaranya, telah membuat aku seperti 
kembali merasakan cinta (yang dulu pernah hilang bersama Galuh). Siswi tersebut, 
kita sebut saja namanya Muti, diperbantukan di departemen Personalia, sedangkan 
aku, bekerja di departemen PPIC.

Sebenernya ruang kerja kami agak berjauhan, tetapi karena sama-sama mengerjakan 
jenis pekerjaan yang menyangkut dengan data, maka setiap hari, kami selalu 
bertemu ditempat foto copy. Awalnya sih, aku hanya sekedar mengagumi 
kecantikannya, karena dengan hidung yang bangir, bentuk bibir yang sensual, 
dihiasi lesung pipit di kedua pipinya, membuat semua yang ada didirinya terlihat 
sempurna. Hari demi hari kami terlihat semakin akrab, bahkan banyak teman-temanku 
yang menyangka kalau aku sedang PDKT dengannya. Semua anggapan temanku, tidak 
terlalu aku pikirkan, karena aku merasa, Muti disini sedang belajar dan 
mengerjakan tugas yang diberikan oleh sekolahnya, dan sebagai seorang karyawan 
di PT. BT, aku hanya sekedar membimbing dan membantu, jika seandainya ada 
sesuatu hal yang dia belum mengerti. Hampir dua minggu aku mengenalnya, ternyata 
sikap dan kelakuannya semakin membuat aku terpesona.

Ketika aku mendengar gurauan salah seorang temanku, yang mengatakan kalau dia 
berani memberi Rp. 500.000,- kepada Muti, jika Muti mau menemaninya selama 2 jam, 
perasaanku malah semakin care sama si Muti. Timbul perasaaan cemburu ketika 
mendengar gurauan itu. Namun aku tidak berani untuk mengungkapkannya, karena 
saat itu diantara aku dan Muti, tidak mempunyai hubungan yang terlalu istimewa. 
Akupun merasa wajar, jika temanku berkata demikian, karena dengan wajah secantik 
itu, jika memang Muti memanfaatkan tubuhnya, mungkin harganya bisa diatas Rp. 
350.000, per dua jam (harga tersebut diatas, adalah harga rata-rata seorang 
massage girl yang sudah dianggap cantik).

Suatu ketika, bersama seorang temannya yang bernama Emma, Muti menuju meja 
kerjaku, awalnya sih bertanya tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan 
keperluannya, mungkin karena merasa sudah akrab, Muti juga bertanya tentang no. 
HP ku, alasannya sih biar gampang saja, kalau nanti dia mau nanya sesuatu. 
Sambil tetap memperhatikan monitor, aku menyebutkan satu persatu nomernya. 
Ketika mereka ikut memperhatikan cara kerjaku, tiba-tiba, “buukkk..” tanpa 
sengaja, tangan Emma menyenggol buku yang aku simpan disisi meja. Aku langsung 
mengambil bukunya dengan cara berjongkok. Alamak.. ketika berjongkok, tanpa 
sengaja sudut mataku melihat sesuatu yang sangat indah, dua pasang paha mulus 
terpampang didepan wajahku.

Bukan hanya itu, karena posisi kaki Muti ketika duduk, agak mengangkang, maka 
ketika ku perhatikan, dipangkal pahanya terlihat pemandangan yang cukup 
menggelitik kelelakianku. Ku lihat dia memakai CD berwarna Pink, dengan hiasan 
renda di sisinya. Mungkin karena mereka terlalu fokus memperhatikan hasil 
pekerjaanku, mereka tidak menyadari (atau memang sengaja?) kalau di bawah meja, 
aku sedang menikmati apa yang seharusnya mereka tutupi. Karena takut mengundang 
kecurigaan dari teman sekerjaku, terpaksa aku kembali duduk dan menerangkan 
tentang cara kerja di PT. BT kepada Muti dan Emma. Namun kejadian yang baru saja 
aku alami, tetap mengganggu pikiranku. Mungkin karena aku tidak konsentrasi 
dengan apa yang sedang kami bicarakan, Muti bertanya.

“Pak, kok kadang-kadang ngejelasinnya tidak nyambung sih..”. Sebenarnya aku malu 
mendapat pernyataan seperti itu, namun karena merasa sudah akrab, aku berbisik 
kepada Muti dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bukannya malu, Muti malah 
tersenyum mendengarnya.

“Kenapa tidak disentuh saja Pak, biar tidak penasaran”, goda Muti. Emma yang 
tidak tahu apa-apa, hanya bengong mendengar pembicaraan kami. Sebagai seorang 
lelaki, mendengar penawaran Muti, aku malah berpikir yang tidak-tidak, dan 
membayangkan apa yang ada dibalik CD nya itu. Namun semuanya berusaha aku redam, 
karena walau bagaimanapun, di PT. BT ini, aku harus JAIM (Jaga Imej), agar aku 
tidak mendapatkan masalah. Bel istirahatpun berbunyi, dan kami langsung menuju 
kantin untuk makan siang. Baru saja aku selesai makan, Muti mendekatiku dan 
berbisik “besok Bapak saya tunggu di Hero sekitar jam 09.00 pagi, ada yang ingin 
saya bicarakan, saya tunggu didepan ATM”. Walau singkat, tapi tetap membuatku 
bertanya-tanya, sebenarnya apa-yang akan dibicarakan? Mengapa waktunya hari 
sabtu, padahal kan setiap hari sabtu PT. BT libur.

Mengapa dia berbisik sangat pelan kepadaku, apa takut terdengar yang lainnya?. 
Besoknya, dengan tetap berpakaian rapi (seperti jika mau berangkat kerja), aku 
mengeluarkan motorku dan beralasan lembur kepada kedua orang tuaku. Menunggu 
adalah hal yang sangat membosankan, karena sampai di Hero, jam baru menunjukkan 
angka 07.30, Setelah mencari sarapan, sambil ngerokok, aku iseng-iseng ikut 
ngantri ATM, padahal cuma mau liat saldo doang, karena uang yang ada di dompetku, 
masih ada sekitar Rp. 400.000,-. Dari jauh, aku sudah tahu kalau gadis yang 
menuju kearahku adalah si Muti, dan pagi ini, dia terlihat sangat sexy, karena 
Muti hanya mengenakan kaos dan celana jeans ketat.

“Udah lama ya Pak? Kan Muti janjinya jam 09.00, sekarang baru jam 08.45, Muti 
tidak salah khan?”, “Jangan panggil aku Bapak dech Mut, aku kan belum nikah, dan 
ini bukan di kantor, panggil namaku saja dech, biar bisa lebih akrab”.

“Ok deh Pak, eh Fik”, sambil tersenyum Muti langsung menggandeng tanganku.

“Fik, enaknya kita ke mana yach”, tanya Muti.

“Terserah, emang mau ngomongin apaan, kayaknya pribadi banget”.

“Ngga juga, Muti seneng saja kalau deket ama Fik, kenapa ya?” “Mau tahu 
jawabannya”, candaku.

“Ngga usah Fik, Muti juga udah tahu, Muti rasa Muti menyukai Fik”, jawab Muti 
polos. Tanpa disadari, mungkin karena saking senengnya, aku yang sejak awal 
memang mengagumi Muti, langsung memeluknya. Mendapat perlakuan begitu, Muti 
mencoba melepaskannya, dan mengingatkan, kalau kita masih ada dilokasi umum, 
tidak enak terlihat banyak orang. Akhirnya kami memutuskan mencari tempat yang 
cocok untuk berduaan. Tapi karena yang aku tahu cuma hotel tempat satu-satunya 
yang cocok untuk berduaan tanpa takut terlihat orang lain, walau terlihat agak 
ragu, Muti akhirnya menyanggupinya. Sekitar jam 09.30, kami sudah sampai di 
front office hotel BI, dan mengambil sebuah kamar dengan fasilitas TV dan AC. 
Dengan agak ragu Muti memasuki pintu kamar (mungkin karena baru pertama kalinya), 
dan dia agak terkejut melihat fasilitas yang terdapat di dalamnya. Apalagi 
ketika dia melihat kamar mandinya.

“Enak juga ya Fik, kita bisa ngobrol berduaan disini, tanpa takut akan terdengar 
atau terlihat oleh orang lain”. Muti langsung merebahkan badannya ke ranjang, 
dan mencari siaran TV yang khusus menyiarkan acara musik. Kebetulan banget 
lagunya adalah lagu-lagu romantis, yang secara tidak langsung, ikut mempengaruhi 
suasana hati kami. Lewat aiphone, aku memesan makanan dan soft drink. Ketika aku 
menyalakan rokok, terdengar suara room boy mengetuk pintu dan mengantarkan 
pesananku. Aku mendekati Muti yang sedang rebahan, maksudnya sih mau nawarin 
makanan, tapi Muti langsung bangun dan bertanya.

“Fik, apakah Muti salah bila Muti mencintai Fik, Muti sebenernya malu 
mengakuinya, tapi bila tidak diungkapkan, Muti takut kalau Fik tidak mengetahui 
apa sebenernya yang Muti harapkan. Maafin Muti yach, Muti udah ngerepotin Fik, 
padahal kan sekarang waktunya libur dan istirahat, tapi Muti malah meminta Fik 
menemui Muti”. Aku terharu juga mendengar kejujuran dan kepolosannya, akhirnya 
setelah mendengarkan semua tentang apa yang ada dihatinya, sambil membelai 
rambutnya (agar perasaannya menjadi lebih tenang), aku pun berusaha 
meyakinkannya, bahwa semua yang dialami, adalah wajar, jika seseorang mencintai 
lawan jenisnya, dan tidak ada yang namanya salah, jika sudah menyangkut perasaan 
hati.

Ketika dia menatapku dengan tatapan yang tajam, secara perlahan aku mencium 
keningnya. Tapi ternyata, yang kulakukan itu malah membuat Muti berani untuk 
membalas ciumanku. Dia langsung melumat bibirku, dan seperti seseorang yang 
tidak mau kehilangan sesuatu, dia memelukku dengan erat sekali. Sambil terus 
menikmati bibirku, tangannya terus mengelus dan mengusap seluruh bagian tubuhku. 
Mungkin beginilah cara dia mengungkapkan rasa sayangnya terhadap diriku. Tapi 
sekarang aku yang bingung, karena dengan melihatnya bentuk tubuhnya saja (waktu 
di kantor), bisa membuat aku “konak”, sekarang seluruh tubuhnya sudah melekat 
erat ditubuhku (walau masih memakai pakaian lengkap).

Kedua payudaranya terasa makin mengeras, akhirnya kuputuskan untuk menikmati 
keadaan ini, karena jujur saja, kadang-kadang, dulu akupun sering menghayalkan 
betapa nikmatnya jika bercumbu dengan si Muti, apalagi jika berjalan di 
belakangnya, goyangan pantatnya ngajakin kita jual tanah (maksudnya ntar duitnya 
buat ngebayarin pantatnya, he.. he.. he..). tanganku mulai berusaha membuka 
kaosnya, karena aku tidak mau pandanganku yang tertuju kepada kedua payudaranya, 
terhalang oleh kaos yang ia kenakan. Pelan namun pasti, akhirnya bukan hanya 
kaosnya yang berhasil aku buka, BH nya pun sudah aku lepaskan. Sejenak aku 
terpana melihat keindahan bentuk payudaranya itu, namun hanya sebentar, karena 
aku ingin segera menikmati dan merasakan keindahan itu, kuremas kedua susunya, 
dengan mesra aku mulai menghisap putingnya yang sudah agak mengeras dan berwarna 
kecoklatan. Kucium dan kujilati bagian tubuhnya, mulai dari leher, terus 
bergerak turun dan menuju putingnya kembali.

“Yaa.. hisap terus sayaangg.. aacchh.. ennaakk banget Fik.. geli.. tapi nick..maaattt.. 
teeeruuus.. aaccchhh..” Muti terus meracau menikmatinya. Aku terus merangsangnya, 
dan mencoba membuka celana jeans yang dipakainya, lantaran jeans yang 
dikenakannya sangat ketat, aku kesulitan untuk membukanya, untungnya Muti 
mengerti, dengan agak mengangkat pantatnya, dia mulai mencoba menurunkan 
jeansnya sendiri. Dengan sabar, aku menunggu dan terus mempermainkan susunya. 
Setelah jeansnya terlepas, tangan Muti berusaha untuk membuka semua yang aku 
kenakan. Satu persatu jari tangannya membuka kancing kemejaku, dan setelah 
berhasil membuka baju dan celana yang aku pakai, Muti hanya menyisakan CD saja 
yang masih melekat ditubuhku.

Mungkin dia masih ragu untuk membukanya, karena diapun masih mengenakan CD. 
Walau diwajahnya terlihat, kalau dia sedang diamuk birahi, namun dia masih bisa 
menguasai pikirannya, aku yakin dia merasa takut di cap sebagai cewe yang 
agresif dan takut jika aku tidak menyukai tindakannya. Namun aku tetap menikmati 
suasana yang terjadi di dalam kamar hotel ini. Aku terus merangsang birahinya, 
ciumanku aku arahkan kedaerah perutnya, terus kebawah menyusuri lubang pusarnya, 
dan kedua tanganku, bergerak untuk membuka CD yang masih melekat ditubuhnya.

Secara perlahan aku mencoba membuka CD nya, sambil terus mencumbunya, aku 
menciumi setiap daerah yang baru telihat ketika CD nya mulai bergerak turun. 
Muti sangat menikmati semua sentuhan yang aku berikan, bahkan ketika CD nya 
telah terlepas, dan aku mulai menjilati memeknya, dia terus mendesah dan malah 
membuka pahanya lebar-lebar agar lidahku bisa menjilati bagian dalam memeknya. 
Dengan keharuman yang khas, memek itu telah membuat aku betah berlama-lama 
mencumbuinya. Aku terus menjilati, dan dengan jari telunjukku, aku coba 
merangsang dia dengan memainkan kelentitnya. Semakin aku percepat memainkan jari 
telunjukku, semakin cepat pula dia menggoyangkan pantatnya. Muti terus mendesah 
dan meracau tak karuan.

“Aacchhhh.. terus sayang.. nikmatnya.. teruzzsss.. lebih ke dalam lagi Fik.. 
teruuzzss.. yacchhh.. benar.. jilati terus yang.. itu.. sayang.. accchhh”. 
Karena rangsangan yang dia terima makin hebat, pantatnya bukan hanya digoyang-goyangkan, 
tapi malah diangkat-angkat ke atas, mungkin tujuannya agar lubang memeknya yang 
lebih dalam ikut tersentuh oleh lidahku. Dengan bantuan jari-jariku, aku terus 
mengaduk-aduk isi memek Muti, aku sentuh G-Spotnya secara perlahan, dia langsung 
menggelinjang, lalu kuelus G-Spotnya nya dengan jari tengahku, Muti makin liar, 
seperti orang yang sedang ngigau, dia meracau tak karuan, tak jelas suara apa 
yang keluar dari mulutnya, karena yang aku tahu, lubang memeknya sudah sangat 
basah oleh cairan kemaluannya, seluruh tubuhnya seperti menegang, tapi itu tak 
berlangsung lama, karena, dirinya langsung terdiam dan tergolek dengan lemas.

Melihat Muti sudah mencapai orgasme, aku berusaha untuk tenang, tetapi kontolku 
sudah sangat tegang (walau masih tertutup oleh CD) dan ingin segera merasakan 
nikmatnya memek Muti. Aku segera mencium dan menjilati “lubang surga” itu, agar 
Muti bisa merasakan apa yang namanya multi orgasme. Usahaku ternyata berhasil, 
karena hanya dalam beberapa menit, tubuhnya kembali bergetar dan menegang. 
Diiringi desahannya yang sangat menggairahkan, Muti kembali merasakan kenikmatan 
itu. Karena beberapa kali mengalami orgasme, Muti terlihat sangat lelah, meski 
tak dikemukakan, terlihat jelas bahwa dia sangat puas dengan oral yang aku 
lakukan.

Dengan tersenyum, dia mencoba untuk melepaskan CD yang masih melekat ditubuhku. 
Tanpa ragu, dia mulai menjilat dan mengulum kontolku. Mendapat perlakuan seperti 
itu, aku yang semula mendominasi permainan, hanya diam saja menikmati permainan 
Muti. Dengan bibir indahnya, dia mengulum dan mengeluar masukan kontolku ke 
dalam mulutnya, dan sesekali, dengan menggunakan kelembutan lidahnya, dia 
mengusap dan menjilat kepala kontolku. Gila.. ternyata Muti bukan hanya indah 
buat dilihat, ternyata Muti mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam 
merangsang dan memanjakan kita dalam permainan seksnya.

Aku berusaha agar tidak sampai kebobolan ketika dia melakukan oral terhadapku, 
namun kenyataannya, semua spermaku telah memenuhi mulutnya, ketika secara reflek, 
aku menjambak rambut dan menarik kepalanya sambil mendesah menahan kenikmatan 
saat spermaku akan keluar. Tanpa perasaan jijik, Muti menelan semua sperma yang 
ada di dalam mulutnya, seperti tidak puas, dia menjilati kontolku yang masih ada 
sisa-sisa spermanya.

“Fik, enak juga ya rasa sperma lo, gurih-gurih gimana gitu..”, kata Muti memuji. 
Aku hanya tertawa sebentar mendengarnya, karena bola mataku tetap memandang 
lekuk-lekuk tubuh Muti yang telanjang tanpa sehelai benangpun menutupinya. 
Kuperhatikan lagi “lembah” yang dihiasi oleh bulu-bulu halus itu, ternyata, 
warnanya agak memerah, mungkin karena tergesek oleh lidah dan jari-jariku.

“Makasih ya Mut..”, kataku sambil menciumi memeknya.

“Fik, boleh tidak kalau Muti minta memek Muti di jilatin lagi, abis enak banget 
sih..”, tanya Muti sambil memohon.

“Boleh saja sih, tapi boleh tidak kalau Fik ngentot Muti, soalnya kontol Fik 
udah tidak kuat nich, pengen buru-buru berada di dalam memek Muti. Boleh yach?” 
“Muti takut Fik, kata temen-temen Muti, rasanya sakit banget, tidak mau ah.. 
ntar kalau sakit gimana?”, tolak Muti.

“Pokoknya Muti rasain saja nanti, Fik apa temen Muti yang salah”, kataku sambil 
mulai menjilati memek Muti. Dengan melebarkan pahanya, dan mempergunakan kedua 
tangannya, Muti membantu melebarkan memeknya agar mempermudah ku di dalam 
mencumbui memeknya. Kujilati klitnya hingga dia menggelinjang tak karuan menahan 
rasa nikmat yang dia terima. Sengaja aku terus menjilati klitnya, agar dia 
diamuk oleh gairahnya sendiri, ketika kulihat tubuhnya mulai menegang, dan 
mengalami orgasme, entah untuk yang keberapa kali, aku langsung memindahkan 
cumbuanku kedaerah putingnya yang sudah sangat kencang. Kuciumi bagian bawah 
susunya, kusedot dan kumainkan lidahku di daerah tersebut.

“Fik.. enak sekali sayang.. acchhh.. ooohhhh..” Muti menggelepar menahan 
birahinya yang semakin besar. Kulihat jari lentik Muti mulai bermain dibibir 
kemaluannya sendiri, dia terus mengelus, dan sekali-sekali memasukan jarinya ke 
dalam lubang memeknya yang sudah sangat basah karena banyaknya cairan pelicin 
yang keluar dari dalam memeknya memeknya. Sambil tetap membenamkan wajahku 
diantara dua gunungnya, tanganku secara perlahan menarik tangan Muti yang sedang 
asik mengeluar masukan jarinya.

Awalnya dia menolak, tapi ketika aku bimbing jarinya kearah kontolku, Muti 
langsung menggenggam dan mengocoknya. Setelah agak lama, aku meminta Muti agar 
dia berada diatas tubuhku yang sudah dalam posisi berbaring. Dengan perlahan, 
dia menaiki tubuhku. Sengaja aku menggesek-gesekan kontolku diantara lubang 
memeknya, ternyata benar, apa yang aku lakukan telah membuat kenikmatan yang 
dirasakan oleh Muti makin menjadi-jadi, diapun mulai bergerak menggesekan 
kontolku ke bagian luar memeknya.

Akhirnya, walau dengan posisi berada di bawah, tanpa sepengetahuan Muti, aku 
berusaha mengarahkan kontolku agar bisa memasuki lubang memeknya. Muti terus 
menggerakkan dan menggesekan memeknya, dan tanpa disadarinya, ternyata kepala 
kontolku mulai bergerak memasuki memeknya ketika dia menggerakan pantatnya dari 
atas ke bawah.

Terasa lembut sekali ketika kepala kontolku menyentuh bagian dalam dari lubang 
surganya, ada perasaan nikmat yang sulit untuk diungkapkan, dan tanpa terasa, 
sudah seluruh bagian kontolku berada di dalamnya. Seperti kesetanan, Muti terus 
menggoyangkan pantatnya, sesekali terdengar rintihan dan erangannya. Akupun 
terus mengeluar masukan kontolku ke dalam lubang memeknya (walau agak sulit 
karena posisiku berada di bawah).

Secara reflek Muti langsung merebahkan tubuhnya diatas tubuhku ketika dia sudah 
mencapai orgasmenya. Namun karena aku belum orgasme, aku langsung membalikan 
badannya agar berada di bawah tubuhku. Dengan sedikit santai, aku terus 
menggerakan “junior”ku, namun karena tubuh Muti yang bersih dan terawat, 
birahiku tidak bisa mengerti jika aku ingin lebih lama menikmati kemulusan 
tubuhnya. Akhirnya spermaku keluar di dalam kehangatan lubang memeknya.